02 Januari 2009

Bocah Petualang Air Sugihan

Bocah Petualang

Bermandi di Kolam Yang Kotor


Pernah menyaksikan serial Bocah Petualang di televise swasta? Itulah masa kecil kita, terutama yang berasal dari pelosok desa. Mandi di kolam yang kotor, adalah hal biasa. Mereka sangat akrab dengan alam, cuaca dan musim. Masa kecil yang indah dan menyenangkan. Dengan telanjang bulat, main perosotan di lumpur pematang, lantas menghanyut di derasnya saluran parit sawah, merupakan permainan gratis paling berkesan.

Tapi tahukan bocah-bocah itu bahwa saat ini orangtua mereka sedang kebingungan karena areal pekarangan pemukiman dan lahan persawahannya dilanda banjir? Mematikan semua tanaman palawija dan sulit mencari sarapan esok pagi? Sedangkan tanaman padi kini masih berusia remaja, belum berkembang, masih lama menunggu panen.

Bocah-bocah tetap bahagia di dunianya yang ceria. Berlari-lari kecil, melompati lobang becek dan terjun bak loncat indah di gelanggang olahraga. Angin pun semilir menerpa tubuh-tubuh bugil yang kedinginan itu. Harum bunga padi semerbak dan kicau burung bersahutan di atas dahan-dahannya, seperti mengabarkan kepada alam yang teduh damai dan santun, bahwa esok pagi kita meraih mimpi.

Inilah Desa Sukamulya Jalur 23 Kecamatan Airsugihan OKI. Sebuah desa transmigrasi yang letaknya diujung Airsugihan atau empat jam naik speedboad menuju desa tersebut. Tak ada jalan darat yang menghubungkan Airsugihan ke pusat kota Palembang atau Kayuagung. Jalan darat yang diharapkan masyarakat sejak lahan trans dibuka tahun 1982, sampai sekarang hanyalah tinggal harapan. Masyarakat trans Airsugihan masih mengandalkan transportasi air yang ongkosnya terlalu mahal, terutama menuju pusat kota Palembang. Sekali jalan masyarakat harus mengeluarkan Rp 100 ribu rupiah.

Pada pertengahan 2004 lalu, masyarakat Airsugihan sempat merasa lega karena jalan darat di wilayah Riding yang menghubungkan irsugihan-Kayuagung segera dibangun, namun proyek jalan tersebut pun tertatih-tatih karena banyaknya manusia-manusia korup yang menggerogoti proyek tersebut. Jalan Riding pun akhirnya kacau, bahkan dihentikan pembangunannya.

Siapapun pemimpin baru selalu berjanji setinggi langit segera mewujudkan impian masyarakat Airsugihan. Dan impian itu hampir tak pernah bisa diwujudkan. Masyarakat Airsugihan tetap berjibaku dengan lumpur sawah. Menggenjot produksi pangan demi kemakmuran bangsa. Demi masyarakat kota dan tengkulak-tengkulak serta lintah darat. Tapi sudahkah pemerintah serius memperhatikan nasib mereka. Coba tengok di sana, berapa harga pupuk bersubsidi? Harga obat-obatan pertanian? Bahkan bahan bakar minyak (solar, bensin dan minyak tanah)? Semuanya mencekik leher petani.

Bagaimana petani bisa bertahan dengan proyek pemerintah provinsi dan pusat mengenai produksi tanaman pangan? Bila kendala-kendala yang menggerogoti petani tak segera dicarikan jalan keluar? Saluran irigasi yang jadi biang banjir juga tidak segera ditindaklanjuti. Ini bisa mengancam produktivitas petani dan berakibat merosotnya hasil tanaman pangan pemerintah daerah.

Masa bodoh dengan itu semua, bocah-bocah tetap riang gembira. Menyelam di lumpur harapan. Mengajak bocah-bocah kota merasakan bagaimana berjibaku dengan lumpur kotor yang mengalir dari lahan persawahan milik orangtua mereka. Beginilah nasib anak petani, kolam kotor adalah hidupnya.

Tidak ada komentar: