19 Maret 2008

Pelopor Sekolah Gratis

Siapa Pelopor Sekolah Gratis
Yang Sesungguhnya di Sumsel?


Terima Kasih Pak Gubernur Sumsel
Yang Sudah Memperhatikan
Guru-guruku di Airsugihan

Triyono Junaidi, Redaktur Harian Sumatera Ekspres ketika bincang-bincang dengan anak-anak SD Sukamulya

Inilah sekolah dasar (SD) di Jalur 23 desa Sukamulya,Kecamatan Airsugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Rata-rata SD di jalur memang bentuknya seperti itu. Malah ini sudah sangat lebih baik dibanding ketika SD tersebut pertama berdiri, yakni bersamaan dengan datangnya warga trans
Gubernur menginstruksikan Kadinkes Sumsel untuk mengoperasi penderita tumor kulit di kecamatan Rantau Panjang OI

Airsugihan pada 1982 lalu. Saat itu belum ada gedung sekolah, yang ada hanyalah pemukiman-pemukiman penduduk yang kebetulan kosong, belum ditempati.
Orang pertama yang menjadi pelopor pendidik adalah almarhum Rivai, orang Kendal Jawa Tengah. Dia begitu semangat mengajak para warga untuk menyekolahkan anak-anaknya. Bagi warga desa Sukamulya, Pak Rivai adalah pahlawan. Dia selain pelopor pendidikan,juga satu-satunya pelopor sekolah gratis di Sumsel.

Gubernur Sumsel Ir Syahrial Oesman bersama warga Sungsang

Jadi kalau kita dengar sekarang ada pelopor sekolah gratis, tidak heran. Bisa jadi sekolah gratis itu hanya muatan politik yang justru bisa jadi pertanyaan publik, apa iya benar-benar gratis.
Warga Sungsang foto bersama Gubernur Sumsel Ir Syahrial Oesman

Pak Rivai benar-benar sosok yang jauh dari muatan politik seperti sekarang ini. Dia begitu ikhlas mendidik anak-anak warga trans tanpa imbalan gaji serupiahpun. Warga trans juga tidak ada yang membayar lantaran saat itu banyak yang tidak punya uang. Bagaimana mau mendapatkan uang? Pada tahun 1982 hingga 1983, warga trans baru penyesuaian lingkungan. Tak heran pada tahun pertama datang di wilayah yang asing itu, banyak warga meninggal dunia. Sehari bisa empat atau lima orang meninggal secara bersamaan. Orang Jawa menyebut dengan istilah pageblok. Penyebabnya adalah muntaber, banyak yang kekurangan air karena sumber air tawar tidak ada, yang ada hanyalah air payau, air asin. Warga belum tahu bagaimana mendapatkan air tawar sebagai kebutuhan untuk minum. Akhirnya warga memanfaatkan air sumur yang terasa asin, dan air sungai yang tidak bisa dijamin dari segi kebersihan, karena sungai difungsikan sebagai MCK (masak, cuci, kakus).


Triyono Junaidi dan Mas Hari di ruang rapat redaksi Harian Sumatera Ekspres

Tahun awal kedatangan warga trans, benar-benar seperti lembaran baru. Seperti hidup baru entah di alam mana. Banyak yang belum bisa cara menggarap lahan yang baik dan benar. Semua warga hidupnya masih bergantung kepada pemerintah pusat dengan menunggu logistik bulanan, yaitu menerima beras, ikan asin, gula dan garam. Logistik itu dijatah selama 18 bulan.Menyambut kunjungan para artis, Shireen Sungkar ke redaksi Harian Sumatera Ekspres

Di tempat yang serba kekurangan itu, ternyata tidak membuat surut semangat juang warganya. Mereka yang sedikit pintar, tahu cara memanfaatkan ilmunya dengan cara mengabdikan diri sebagai guru SD (meskipun tamatan SMA). Di SD yang serba darurat, tanpa buku cetak, tanpa kursi, tanpa meja, semua duduk lesehan. Almarhum Rivai tidak kurang akal untuk mewujudkan anak-anak Jalur 23 menjadi pintar. Mirip sekolah jaman perjuangan 1945. Meski tanpa buku, anak-anak serius mendengar Pak Rivai mengajar, termasuk saya.


Rapat dewan redaksi harian Sumatera Ekspres

Namanya juga sekolah darurat, pembagian kelas terkadang juga disesuaikan umur murid-muridnya. Bila muridnya cocok untuk duduk di kelas lima atau enam, mereka adalah duduk di kelas tersebut. Dan saya ketika trans, sebenarnya kelas 1 SMP di Jawa, namun karena di desa Sukamulya belum ada SMP, terpaksa saya mundur kelasnya, yaitu mengulang di kelas enam.
Wawancara bersama Gubernur Sumsel H Ir Syahrial Oesman

Meskipun sekolah gratis, warga banyak juga yang tidak sekolah lantaran lebih mengutamakan nyangkul di sawah. Bisa dimaklumi karena mencangkul adalah kerja nyata dan bisa menghasilkan. Sedangkan sekolah, anggapan sebagian masyarakat hanya sebagai syarat agar bisa berhitung, membaca dan menulis.

Wawancara bersama Pangdam II Sriwijaya, Mayjen Syariffudin Tipe

Setelah tahun ajaran baru, tamatan SD ini bingung harus ke mana lagi. Sedangkan Pak Rivai hanya mengantarkan anak-anak pada tingkat SD saja. Maka muncul pahlawan pendidikan yang lainnya, yaitu Pak Kusnan, Suyono, Sunarto, Rasiwan, Ngalimun, Bu Warni, Bu Sur dan lain-lain. Mereka benar-benar pahlawan bagi warga jalur 23 desa Sukamulya. Para guru ini tidak ditunjuk siapa-siapa, bukan juga dari instansi pemerintah seperti Depdikbud dan lain-lain, melainkan inisiatif sendiri dan benar-benar relawan tanpa digaji.Merencanakan rubrikasi Edisi Minggu Harian Sumatera Ekspres

Kadang-kadang murid-muridnya punya inisiatif, karena tidak mampu membayar guru, murid-murid secara bergantian membantu para guru menggarap ladangnya masing-masing. Dengan cara imbal balik itulah semua lancar dan saling menguntungkan, meskipun itu tidak diinginkan para guru.

Perjalanan jurnalistik bersama para redaktur se-Jawa Pos Grup ke Kudus

SD yang lapuk dan nyaris ambruk itu tak ubahnya kawah candradimuka yang sakti dan berhasil melahirkan orang-orang hebat. Mereka ada yang jadi tentara, guru, dosen, wakil rakyat (DPR), camat dll. Bahkan sekarang banyak sarjana-sarjana dari Airsugihan. Tak disangka pula dari SD yang buruk itu muncul seorang redaktur senior Harian Sumatera Ekspres (Perintis berdirinya Sumatera Ekspres/Sumeks sejak Surya Persindo/Media Indonesia 1990) harian terbesar untuk wilayah pulau Sumatera. Dari tempat yang terisolir itu, justru mampu menghantarkan sang redaktur keliling dunia. Perjalanan jurnalistik keluar negeri, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, dan China. Foto diatas ketika singgah di Singapura.

Itulah SD yang penuh dengan nilai juang, SD yang menjadi pelopor sekolah gratis yang sesungguhnya. Guru-guru yang memiliki semangat idealisme, meski dirinya harus meleleh oleh api semangatnya. Almarhum Rivai telah mengantarkan generasi transmigrasi ke dunia global dan teknologi, meski dirinya sendiri belum sempat menyaksikan keberhasilan anak-anak didiknya.Dan tidak setiap anak didik tahu cara berterima kasih kepadanya. Para pahlawan lainnya yang kini sudah mendapat penghargaan pemerintah dan diangkat sebagai PNS (guru tetap) adalah Pak Kusnan, Suyono, Sunarto, Rasiwan, Ngalimun dan lain-lain. Mereka lebih pas disebut 'Pahlawan tanpa tanda jasa', karena hasil karyanya tidak mereka nikmati, tapi dinikmati orang lain. Terima kasih Gubernur Sumsel Ir Syahrial Oesman, yang telah mengangkat derajat para guru kami menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Trima kasih guru-guruku. Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai langkahmu.


Tidak ada komentar: