20 Oktober 2008

Ki Suparno ‘Gaet’ Sinden Bule

Mengawinkan Dua Keunikan

Di Panggung Wayang

Ini menjadi catatan tersendiri bagi penggemar wayang kulit di Palembang, Sabtu (18/10). Pergelaran yang disiarkan secara langsung TVRI stasiun Palembang itu, menampilkan dalang Ki Suparno Wonokromo, Bos Harian Sumatera Ekspres Group dengan sinden bule asal Chicago Amerika Serikat, Elizabet Karen. Dua perbedaan yang dikolaborasi di atas panggung wayang, benar-benar menjadi tontonan menarik.

------------------------

Masyarakat penggemar wayang kulit di Palembang, berdecak kagum mendengar suara perempuan bule yang empuk, medhok jowo (fasih dialek Jawa), dan njawani (sesuai budaya Jawa). Bahkan banyak yang bilang, suara Karen lebih sempurna daripada sinden beneran asal Jawa. Nah, lho, kalau orang bule saja lebih fasih melafalkan tembang-tembang Jawa, lama-lama kita berbalik belajar bersama bule.

Setidaknya inilah keunikan dari dua perbedaan itu. Mereka berdua bukan dari latar belakang seniman professional, melainkan orang yang peduli dengan kesenian. Yang satu pribumi asli dari komunitas seni tradisional Jawa alias ‘nguri-uri’ kabudayan (menggalakkan kesenian Jawa), yang satu hanyalah orang yang ingin belajar berkesenian secara baik dan benar. Hasilnya, luar biasa menarik. Bikin penggemar wayang kulit berdecak kagum.

Bagaimana tidak, selain kita mengagumi penampilan perempuan asing bermata biru dan berpostur tinggi semampai itu, kita juga mengagumi cara biacaranya yang bener-bener Jawa priyayi. Berbahasa Jawa Inggil. Sepintas, Karen memang terlihat dingin tak bersemangat, tidak banyak bicara, namun ketika berada di atas panggung bersama lawak Semar dan Bagong, mulai terlihat karakter banyolannya yang khas Jawa.

Ketika Semar menyinggung pribadi Karen yang lemah lembut dan menguasai seni budaya Indonesia, terutama Jawa, Karen mengatakan bahwa seni budaya Jawa sangat indah. ‘’Saya menyukai seni dan keindahan. Tata gerak dalam seni tari dan wayang sarat dengan filosofi kehidupan. Kehidupan itu kalau kita hayati benar-benar sangat indah. Saya tertarik itu,’’ ujar Karen.

‘’Lantas siapa yang ngajari kamu menyinden dan menari?’’ Tanya Semar.

‘’Ya, yang ngajari aku bisa seperti ini, ya yang ngeloni aku,’’ jawab Karen tanpa ekspresi, seolah-olah tidak perlu dibahas panjang lebar mengenai kata ‘mengeloni’. Artinya orang yang meniduri dirinya. Siapa yang meniduri Karen? Siapa lagi kalau bukan suaminya sendiri sekaligus guru privat seni tradisi Jawa, Muhammad Sholeh Adi Pramono, yang juga seorang dalang terkemuka di kawasan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Bersama sang guru pribadi itu, Karen cepat pintar melantunkan tembang-tembang tradisional Jawa.

Dari situlah akhirnya Karen mendapat kesempatan ikut nyinden setiap ada tanggapan wayang. Lama-lama orang Malang mengakui kehebatan Karen dalam hal kesenian tradisional Jawa, terutama nyinden dan tarian Remong. Kini Karen lebih pas sebagai ‘orang Jawa’ yang selalu andap asor, merendah dengan apa yang sudah dia kuasai. ‘’Saya masih belum bisa apa-apa dan masih ingin belajar terus,’’ ujarnya ketika dibincangi Sumatera Ekspres di ruang rapat TVRI Palembang.

Dengan memakai busana tradisional Jawa yang terkesan ribet, sumpek, dan sulit untuk bergerak bebas, menurut Karen, tidak juga. Disitulah keindahannya. Meski ribet, tapi memiliki nilai seni.

Sementara Suparno Wonokromo, yang kini mendapatkan gelar ‘Ki’ yang biasanya selalu menempel di depan nama dalang, merasa bukan dalang. ‘’Saya sebenarnya hanya hobi mendalang. Ada yang nonton ya syukur, kalau tidak ada, ya tidak apa-apa. Wong kita ini memang bukan dalang professional. Saya bukan keturunan dalang. Kita masih terus belajar,’’ ujarnya.

‘Dalang-dalangan’ menurut pengakuan Suparno, justru mendapat legalitas masyarakat dengan nama Ki Suparno, dalang kondang dari Palembang. Jam terbangnya juga lumayan cepat menanjak. Berbagai kesempatan mendalang dilakukan tak hanya di Palembang, tetapi juga di Lampung dan di Jawa.

Disinilah keunikan dua perbedaan itu, yang sama-sama bukan dari seniman professional, namun nilai tontonannya merupakan tontonan yang berkelas.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas artikel ini mas... saya ijin share (dengan mencantumkan sumber cerita) supaya semakin banyak orang Indonesia membaca artikel ini :)