di Persimpangan Jalan
Dua puluh delapan tahun sejak (1982), petani Airsugihan benar-benar bergelut dengan waktu dan diperkosa oleh sebuah tradisi leluhur sebagai pekerja keras. Saya dan mereka adalah anak-anak dari mesin pencetak beras bagi kemakmuran bangsa ini. Ribuan hektar lahan gambut yang merupakan lembaran masa depan kaum petani, telah menorehkan tinta emas bagi perjuangan hidup di wilayah terasing itu--dikurung sungai alam dan hutan belantara. (Kalau pemerintah tidak malu mengatakan ini daerah terisolir), karena jalan penghubung (darat) masih menjadi teka-teki. Tapi itu lupakan saja. Airsugihan yang digadang-gadang sebagai proyek lumbung pangan nasional, lambat laun bakal menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit. Mengapa?
---------------------------
T Junaidi--AIRSUGIHAN
---------------------------
Petani Airsugihan bukan tipe manusia pemalas, meski puluhan kali sempat dilanda kegagalan panen karena serangan hama tikus dan babi hutan, tapi mereka tetap tegar dan bertahan sebagai petani sawah. Tak hanya itu, sejak BBM naik, yang melegitimasi naiknya harga obat-obatan, pupuk bersubsidi, sembilan bahan pokok dan lain-lain, memang sempat membuat warga kelabakan. Solusi pemerintah untuk membantu kaum marginal itu sepertinya kandas di sebuah rencana. Bahkan terkesan tidak menemukan solusi yang berarti. Akhirnya masyarakat harus menyelamatkan diri dari belenggu kemiskinan turun temurun. Dan kini perjalanan menembus kemakmuran itu para petani masih berada di persimpangan jalan. Belok ke kanan (tetap bertahan sebagai petani sawah) atau belok ke kiri sebagai petani perkebunan?
Melihat kenyataan itu, beberapa utusan pemerintah pusat yang terjun langsung di daerah transmigrasi benar-benar kelabakan. Mengapa bisa terjadi? Suryanto, Kades Sukamulya Jalur 23 kecamatan Airsugihan, tak mampu berkata apa-apa, kecuali minta kepada para petugas untuk bertanya langsung kepada para petani. Bila Airsugihan sudah menutup proyek mesin pencetak beras, ini jelas akan mengurangi tingkat swasembada pangan lokal maupun nasional.
Disisi lain, petani Airsugihan memang sudah cukup kebal bermandikan peluh dan hujan. Mereka sudah mulai pintar membaca alam dan mahir dalam hitungan matematika. Mengapa selama puluhan tahun tak menghasilkan apa-apa secara financial? Padahal hasil panennya cukup berlimpah. Bahkan beberapa hektar padi sempat tidak bisa terangkut ke rumah gara-gara surplus padi. Mereka kewalahan mengangkutnya dari sawah ke rumah.
Kendati penghasilan berlimpah, ternyata petani merasa tidak memperoleh apa-apa. Nilai modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan nilai hasil yang didapat. Ini sama artinya satu ditambah satu hasilnya bukan dua, tapi min empat. Petani tetap merugi. Mengapa? Banyak faktor yang membuat petani sempoyongan. Pertama dipermainkan pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan dari penderitaan petani, yaitu harga obat-obatan yang terus merangkak naik, bahkan adakalanya dipermainkan seolah-olah obat-obatan langka, stok habis. Akhirnya para dracula penghisap darah petani senaknya menaikkan harga. Pupuk bersubsidi setelah sampai ditangan petani harganya Rp 75 ribu, atau petani meminjam pada lintah darat Rp 125 ribu (bayar setelah panen). Sudah dihantam obat-obatan dan pupuk, masih dihantam pula BBM, terutama bensin dan solar menjadi barang langka. Bahan bakar untuk diesel bajak sawah itu, kalau saja ada yang jual, dipastikan harganya dua kali lipat dari harga biasa.
Beberapa pedagang solar mengaku tidak mau ambil risiko terlalu besar mengangkut solar ke daerah transmigrasi Airsugihan, meskipun kebutuhan solar cukup banyak, terutama musim garap lahan. Mengapa?
Membawa solar melewati perairan lebih ‘boros’ karena menguap di jalan. Hampir setiap tikungan sungai atau pos-pos tertentu, tak sedikit oknum aparat ‘ngemil’. Kalau tidak barang dagangan itu disita. Nah, pilih mana? ‘’Kami ada surat-surat dari kades, pertamina, camat, tapi tetap saja dimintai setoran. Keuntungan kami kan dari situ. Kalau selama perjalanan saja sudah beberapa pos kami harus membayar, berapa lagi keuntungan kami. Terpaksa kami menaikkan harga cukup tinggi,’’ ujar salah seorang pedagang solar di Jalur 25, yang meminta namanya tidak mau disebutkan.
Maka komplitlah penderitaan petani yang dicekik dari arah kanan, kiri, depan dan belakang. Kondisi seperti ini terasa sangat membosankan. Warga sudah cukup lelah menjadi mesin swasembada pangan, yang selama ini hanya sebagai komoditas politik belaka. Setiap ada pemimpin baru, janjinya setinggi langit. Ingin menuntaskan penderitaan petani, ingin mengusahakan obat-obatan dan pupuk bersubsidi sampai ditangan petani. Nyatanya? Warga ingin melupakan carut-marut itu dengan cara lebih hemat tapi bisa menghasilkan uang banyak. Tak lain mengubah ketergantungan obat-obatan pertanian yang selama ini ‘ngotaki’ petani, dengan merubah pola tanaman pangan menjadi tanaman perkebunan. Meski untuk tahun ini hingga lima tahun mendatang, petani masih butuh obat-obatan dan solar untuk mesin bajak sawah, lima tahun mendatang? Entah, Airsugihan seperti apa.
.
1 komentar:
salut atas berita yg diangkat seharusnya di exposs lebih lagi, biar pemuda kita sekarang tahu bahwa hidup itu perlu ketekunan dan katabahan dan kesabaran untuk sukses
Posting Komentar