21 Agustus 2015

KOLOM MINGGU




Petani Sejati Dan Petani Jadi-jadian

Oleh T Junaidi



Setelah beberapa minggu ini saya nyimak berita Air Sugihan, memori saya berputar cepat ke tahun 1983 sampai 1986. Saya mencatat tahun-tahun ini adalah tahun suram, sampai tahun 1990-an. Air Sugihan mengerikan. Jika saya bilang seperti itu kesannya berlebih-lebihan, tapi faktanya seperti itu, puncaknya tahun 1991 Air Sugihan menampar muka manta presiden Soeharto--paceklik, kelaparan dan kematian.


Saya akan memulai dari masa sulit saya ketika menjadi petani di wilayah paling ujung Air Sugihan, yaitu desa Sukamulya Jalur 23. Pada tahun 1984, usia saya menginjak 15 tahun duduk dibangku SMP. Ketika itu tanaman padi tumbuh subur, lahan gambut masih menjadi penyuplai nomor satu pupuk secara alamiah, warga benar-benar merasa berhasil menjadi petani. Hampir seluruh desa se-Air Sugihan siap panen raya secara serentak ditahun-tahun pertama menjadi petani (1984).
Dan ketika ibu saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut panen raya besok pagi, Ibu menghampiri semua tetangga kanan kiri, para paguyuban tani serta karang taruna untuk ikutserta merasakan kebahagiaan kami. Ibu nampak begitu semangat tanpa lelah menyiapkan makanan untuk warga yang bakal datang bekerja memanen padi kami pada keesokan harinya.
            Pada pagi buta usai sholat subuh, ibu sudah tidak sabar lagi langsung menuju sawah. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba ibu menjerit menangis sejadi-jadinya. Kami sekeluarga terkejut, ada apa ibu menangis ditengah sawah? Kami sekeluarga bergegas menuju sawah dan menghampiri ibu. ‘’Le parine dewe  le…iki piye le….iki ono opo….ono pertondo opo…(Nak padi kita nak, ini gimana…ada firasat apa…?)’’ ujar ibu dengan kondisi lemas. Betapa terkejutnya kami melihat padi disawah hilang dari pandangan kami. Tidak seperti yang kami lihat sebelumnya, menguning seluas mata kami memandang hamparan sawah. Kami semua terbengong, bulu kuduk kami berdiri. Pikiran kami melayang jauh menghubung-hubungkan antara nyata dan tidak. Kami cukup lama terbengong ditengah sawah sambil memeluk ibu, seperti tidak percaya. Siapa yang memanen padi kami semalam?
             Tak lama kemudian, tetangga kami juga tergopoh-gopoh lari dari pematang sawah untuk memberitahukan tetangga dan saudaranya kalau padinya hilang. Tetangga lain ternyata mengalami hal serupa, bahwa malam itu, ratusan  hektar lahan petani ludes diserang hama tikus. Waktu yang cukup singkat-hanya satu malam  saja tikus mampu menghabiskan ratusan hektar lahan padi. Berapa juta tikus yang saat itu tumplek blek diareal persawahan? Ini cukup mengerikan. Malam harinya kami mencoba ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi di sawah? Lagi-lagi kami terbengong, seperti ada keanehan yang menyelimuti perasaan kami. Tak salah kalau akhirnya kami juga menghubung-hubungkan secara irasional, bahwa ini perbuatan jin setan periperayangan. Sing baurekso Air Sugihan sedang pesta pora. 
Setahun kemudian setelah kami gagal panen,  ternyata serangan tikus tidak berhenti sampai disitu, malah semakin menjadi-jadi. Semua tanaman petani habis digasak tikus. Upaya apapun sudah dilakukan, baik perburuan tikus maupun tirakat. Para sesepuh kampung melakukan kenduri besar tirakatan. Kami semua tidak tenang, ada rasa kawatir bila menjelang malam. Suara tikus hutan terdengar begitu aneh, tidak seperti suara tikus pada umumnya, tapi suaranya menyerupai suara anjing, bedanya frekwensi suaranya tidak sekeras anjing, karena jumlahnya ribuan, suara tikus gemuruh saling bersautan.
Pada siangnya, kami dan semua warga kompak untuk turun ke sawah memburu tikus. Tapi kami sempat bertanya-tanya dimana sarangnya? Diseputaran sawah tidak ada sarang tikus, atau dipematang sawah juga tidak ada. Para petani saat itu tidak sadar kalau dilingkungan areal pertanian itu ada hutan semak-semak yang mengepung lahan petani. Selain hutan lahan PU yang terletak diantara dua desa, maupun hutan pinggir areal lahan petani arah sungai besar. Di hutan itulah sarang semua hama padi, ada tikus, babi hutan, monyet, burung, belalang dan lain-lain.
Setelah hutan dibabat, saat itu belum ada larangan bakar-bakaran lahan, petani sangat terbantu menggarap lahan dengan cara membakar. Dengan demikian, semua hewan keluar, termasuk celeng (babi hutan), rusa, tikus, ular dan lain-lain. Semua hewan lari tunggang langgang meyebar ke areal persawahan. Dan tikus-tikus yang tidak sempat lari, kebanyakan terbakar. Nah ketika tikus yang jumlah sudah tidak begitu banyak, petani tinggal meracuninya tiap malam di pematang sawah.
Areal hutan tinggal ranting kayu yang malang melintang, akhirnya pelan-pelan difungsikan warga menjadi lahan pertanian. Selain bisa menghasilkan, juga meminimalkan menjadi sarang segala macam hama. Hingga tahun 1997 petani agak bernafas lega setelah tahun 1991 heboh. Sampai tahun 1998 sudah mulai aman dari gangguan tikus hingga tahun 2000 an keatas sebagai puncak keberhasilan petani. Panen raya berkali-kali dilakukan dengan mengundang Bupati, Gubernur untuk ikut merasakan kebahagiaan warga tani. 
Kini setelah beberapa kali saya mudik ke air sugihan, saya mulai dikejutkan banyak masalah. Bukan lagi hama tikus yang mengepung petani, tetapi perkebunan sawit yang mengepung lahan pertanian, mulai dari desa Bukit Batu, Rengas Abang, Pangkalan Damai, Nusantara, Margatani, Tirtamulya, Sukamulya dan Jadi Mulya semua dikepung perkebunan sawit.
Warga mulai resah kembali dengan kehadiran perkebunan yang tiba-tiba menguasai lahan petani. Lahan tempat babi hutan dan tikus yang sudah dikangeli (diupayakan) dengan peluh dan perut lapar, berhari-hari bergulat dengan batang kayu yang malang melintang, kini beralih fungsi menjadi lahan perkebunan dan warga hanya akan diberi tali asih 2,5 juta per hektar. Tentu ini sangat menyakitkan dan melukai hati petani disaat petani baru saja mengenyam kemakmuran dari jerih payah selama ini.
            Perselisihan pun semakin jadi, warga tidak akan menyerahkan lahannya begitu saja meski pihak PT merasa gagah menenteng surat ‘sakti ‘ ijin Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah.  Lantas warga harus menenteng apa untuk berargumentasi mengenai lahan hasil garapannya? Ini namanya petani sejati  berhadapan dengan petani jadi-jadian.  Karena petani sejati turun ke lahan dan tahan lapar, dibakar matahari dan bermandi hujan. Petani jadi-jadian tidak turun ke lahan, melainkan gentayangan ke kantor-kantor perijinan garapan. Siapa sejatinya yang berhak mengenai lahan garapan tersebut? (*/bersambung)
(Penulis adalah General Manager Sumatera Ekspres Minggu dan Harian Sumatera Hari ini (SHI)—Jawa Pos Group/Anak Petani Airsugihan)

Tidak ada komentar: